- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
282.8K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#494
#46 - Emptiness
Spoiler for #46 - Emptiness:
Beberapa bulan sejak pulih dari pasca operasi ginjal. Kehidupan kami terasa seperti baru. Untuk pertama kalinya, selama bertahun-tahun bersama, gua merasakan kebahagiaan yang lengkap. Hanya gua dan Jeje, tinggal di sebuah rumah mungil, di pinggir kota Halifax yang indah.
Walaupun sibuk, tiga pekerjaan yang dilakoni Jeje membuat kami tak lagi memiliki kecemasan perihal kondisi keuangan. Dengan ginjal baru milik Jeje yang prima, gua juga tak lagi punya kecemasan berlebihan tentang kesehatan.
Ditambah, kami juga dikelilingi kerabat yang selalu menemani. Claire, Desi, Mrs. Bennet si tetangga sebelah dan bahkan Salsa; CEO tempat Jeje bekerja kerap datang berkunjung, memenuhi rumah dengan canda dan tawa.
What a beautiful life.
Namun, itu nggak berlangsung lama. Dunia terasa terbalik saat suatu pagi gua merasakan mual yang hebat disertai muntah.
Khawatir, takut ada yang salah dengan kondisi ginjal ini, gua langsung menuju ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Hasilnya; kondisi gua normal, bahkan menurut dokter kesehatan gua amat sangat baik. Sambil tersenyum, ia lalu menyarankan gua untuk melakukan tes kehamilan.
‘What!?’
Walaupun nggak terlalu percaya dengan ucapan si dokter, di perjalanan pulang gua menyempatkan diri mampir sebentar ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Dan langsung melakukan tes begitu tiba di rumah.
Gua meletakkan alat tes kehamilan di sisi wastafel, sambil menunggu hasilnya muncul, gua berjalan mondar-mandir, menggigit jari, harap-harap cemas dengan hasilnya.
Beberapa saat kemudian, gua kembali mendekat, dan mendapati batangan alat tes kehamilan menunjukkan hasil positif. Gua meraih alat tersebut dan membuangnya ke tempat sampah, lalu bergegas kembali ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan yang baru; Masih nggak percaya dengan hasilnya.
Gua kembali dengan 7 alat tes kehamilan dari 7 merek yang berbeda, dan kembali melakukan tes. Hasilnya? ketujuh alat tersebut menunjukkan tanda yang sama dengan alat sebelumnya; gua positif hamil.
‘What the heck!’ gua membatin dalam hati seraya menjatuhkan diri diatas ranjang.
Bukan!, bukan gua nggak senang dengan kondisi ini. Gua hanya belum siap. Gua merasa seharusnya kami masih harus lebih lama berdua, menghabiskan waktu bermesraan. Selain itu, ada perasaan takut dan khawatir. Apakah gua siap menjadi seorang Ibu? apakah cukup punya keberanian untuk membesarkan seorang anak?
Gua meraih ponsel dan menggenggamnya. Ingin menghubungi Jeje dan memberinya kabar perihal ini. Tapi gua urungkan. ‘Nanti saja, saat ia pulang’ batin gua dalam hati.
“Gue kayaknya hamil deh…”Ucap gua pelan, begitu Jeje baru saja pulang dari bekerja, saat Ia bahkan belum melepas mantelnya.
Jeje terdiam, mematung. Lalu berpaling pelan ke arah gua dan mendekat.
“Apa?” Tanyanya.
“Gue hamil…”
Masih dengan ekspresi khasnya yang datar, ia mengangguk, menghela nafas kemudian tersenyum; “Lo serius apa bercanda?” Tanyanya lagi.
“Serius Je, gue udah tes pake tujuh, enggak, delapan alat dan hasilnya sama…”
Begitu mendengar penjelasan gua, Ia lalu tersenyum lebar dan langsung memeluk gua.
Berbeda dengan gua, Jeje terlihat begitu bahagia saat mengetahui kabar ini. Lalu, apakah gua cukup berani untuk memberitahunya kalau gua nggak siap dengan kehamilan ini?
“Kenapa? kok lo kayaknya nggak happy?” Tanya Jeje saat melihat ekspresi wajah gua yang murung.
“Nggak tau… gue kayaknya nggak siap aja dengan hal ini…” Ucap gua pelan.
“Hah?! nggak siap gimana?”
“Ya jadi Ibu kan nggak gampang Je…”
“Lah, terus?”
“...” Gua hanya terdiam, nggak menggubris ucapannya dan kembali masuk ke dalam kamar.
Setelahnya, Jeje kerap mencoba menghibur dan memberikan pengertian tentang kehamilan, tentang benefit menjadi seorang ibu dalam segala aspek. Tapi, itu semua nggak mengubah rasa di dalam hati; gua masih nggak siap, takut dan khawatir.
Ditambah semakin besar usia kandungan, semakin payah gua dibuatnya.Gua mengalami mual dan pusing sepanjang hari. Nggak itu saja, kadang gua diserang rasa panik yang berlebihan hingga membuat gua kesulitan untuk tidur.
Disisi lain, walaupun mengetahui kondisi gua yang kepayahan karena hamil. Jeje sama sekali nggak mengurangi intensitasnya dalam bekerja. Walaupun program S2 nya sudah selesai, kini saat libur ia justru lebih banyak mengurusi bisnis guling.
Gua merasa sendirian, takut, cemas dan menderita.
Puncaknya adalah saat gua sudah mulai merasa nggak mengharapkan bayi ini lahir. Berbekal konten dari internet, gua membeli obat penggugur kandungan dan meminumnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Jeje.
Apesnya, karena obat yang gua konsumsi tanpa resep. Tentu saja mempengaruhi kondisi ginjal gua yang cuma satu. Nggak lama setelah mengkonsumsi obat tersebut, gua collapse. Dan terbangun beberapa hari kemudian, di rumah sakit.
Saat terbangun, gua melihat Jeje berdiri, bersandar di ujung ruang perawatan sambil menatap gua dengan pandangan yang berbeda. Kini matanya yang sendu berganti dengan tatapan super dingin yang menyakitkan.
Dan untuk pertama kalinya, semenjak gua mengenal Jeje; ia marah.
“Don’t ever do that again…” Ucapnya sambil menggeram dan menunjuk ke arah gua.
“...”
“... Lo nggak tau kan gimana bingung dan takutnya gua pas ngeliat lo udah terbaring di kamar dengan mulut berbusa?”
“...”
“... Lo nggak tau kan betapa paniknya gua pas dokter bilang kalau telat sedikit aja, nyawa lo bisa melayang?”
“Ya elo nggak ngerasain.. Yang hamil gue, yang mual gue, yang stres gue.. sedangkan elo? elo kemana? elo masih sibuk aja kerja..” Gua membalas ucapannya dengan teriakan.
Sebuah ucapan yang nggak berdasar dan hanya alasan untuk membenarkan kelakuan gua.
“Kalo emang bisa, semua yang lo rasain pindahin ke gua. Biar gua yang nanggung…” Balasnya.
Dan gua nggak memberi jawaban, hanya terdiam dan mulai menangis.
Jeje mendekat dan memeluk gua sambil berbisik; “Sorry…”
—
Setelah kejadian itu, gua dan Jeje lebih banyak diam ketimbang bicara. Sesekali, kami berdebat kecil mengenai hal ini. Mungkin nggak cocok disebut dengan perdebatan karena biasanya hanya gua yang marah dan berteriak, sementara Jeje hanya diam sambil menerima pukulan dan teriakan gua. Namun, di akhir ‘perdebatan’ Jeje memeluk gua dan meminta maaf.
Pada bulan ketujuh, rasa aneh terasa pada ulu hati. Sambil menahan sakit, gua menghubungi Jeje. Ia langsung bergegas pulang, menjemput dan membawa gua ke rumah sakit.
Nyatanya, ketuban gua pecah dan nyaris kering. Seorang Dokter perempuan berambut pirang berusia setengah baya, dengan name tag bertuliskan Brasen Cloutier menyambut kami dan langsung memberi perawatan. Setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan ia menyarankan untuk segera melakukan tindakan operasi, tentu saja untuk menyelamatkan si Bayi dan ibunya.
Tanpa banyak pertimbangan, Jeje menyetujui saran dari si dokter.
Beberapa jam berikutnya, pecah tangisan anak perempuan; Anggita Laras Brasen. Jeje mengambil nama si Dokter sebagai bagian dari nama anak perempuan kami.
—
After Anggi was born, things started to change a lot
Jeje yang memang lahir dengan penuh tanggung jawab, ingin membantu gua sebisa mungkin. He had always been a hands-on partner, as always. Tapi gua selalu meneriakinya, saat ia melakukan hal yang salah. Salah mengambil lotion bayi, salah membeli popok, salah saat mencoba menggendong Anggi, dan banyak kesalahan lain yang membuat akhirnya semua harus gua lakukan sendiri.
Di sisi lain, gua mulai struggling to adjust to the new normal; menjadi ibu. Ketakutan gua sebelumnya, kini benar-benar terjadi. Gua kelelahan karena harus melakukan semuanya sendiri, kurang tidur akibat Anggi yang selalu bangun tengah malam. Ditambah lagi gua juga sepertinya mengalami Baby blues, lengkap sudah rasa derita yang gua alami.
Pertengkaran kecil saat mengandung dulu kini terulang kembali. Bahkan kini gua semakin sensitif, kami kerap bertikai akibat hal-hal sepele. Gua merasa Jeje nggak cukup suportif, lebih mementingkan pekerjaan dibanding gua. Sementara ia merasa sudah berusaha sebaik mungkin tetapi selalu salah dimata gua.
Tak lagi tahan dengan kondisi ini, mulai terbesit di kepala sebuah niat untuk pergi. Mungkin hanya butuh satu trigger kecil untuk membuat niat itu menjadi nyata.
Dan, percikan itu pun muncul.
Saat Anggi berusia genap tiga bulan. Jeje duduk di tepi ranjang dan bilang kalau dia harus pergi ke Toronto selama tiga hari. Gua menatapnya tajam lalu bicara; “Lo mau ninggalin gue kayak gini? ngurus Anggi sendirian?”
“Ya gua kan harus kerja Ce..” Jawabnya pelan.
“Lebih penting mana? kerjaan lo apa keluarga lo? Dari awal gue nggak setuju punya anak, dan elo yang minta gua bertahan. Sekarang, gue harus menghadapi ini sendirian sementara lo pergi?” Tanya gua. Memberikan pertanyaan yang mungkin bakal sulit ia jawab. Gua sadar kalau gua telah ‘mendorongnya’ terlalu jauh, gua sadar kalau sikap gua selama ini berlebihan. Tapi, entah kenapa tetap gua lakukan.
Jeje terdiam.
Kemarahan gua semakin menjadi saat besok paginya melihat Jeje tengah memasukkan pakaiannya ke dalam Tas. Entah darimana keberanian ini berasal, gua meraih remote TV, melempar dan tepat mengenai kepalanya.
Jeje bergeming, seperti biasa ia nggak melayani ajakan berdebat gua. Jeje lebih memilih diam, dengan diam mungkin ia merasa gua bakal berhenti mendebatnya. Ia meraih remote TV yang tergeletak di lantai, berdiri dan meletakkan remote tersebut di meja kecil sebelah ranjang. Lalu mengecup kening gua dan Anggi kemudian pergi berangkat.
Gua pun menangis.
Setelah menidurkan Anggi, gua mengambil koper dari dalam kloset, membereskan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Setelahnya, gua langsung membuka laptop dan memesan tiket pesawat ke Jakarta secara online. Perlu waktu sendiri untuk berpikir dan menenangkan pikiran.
Tepat sebelum Jeje pulang, gua menghubungi Claire untuk datang ke rumah. Ingin meminta bantuannya menjaga Anggi sebelum Jeje pulang.
Sempat terbesit keraguan yang dalam saat mendengar tangisan Anggi dari dalam kamar, sementara Claire berusaha untuk menenangkannya dengan memberikan susu formula. But I was exhausted and stressed, and it seemed like there was no end in sight.
Dengan sebuah koper besar, gua pun pergi. Meninggalkan rumah yang selama bertahun-tahun menjadi tempat gua berbagi hati, meninggalkan Anggi dan Jeje.
—
Begitu tiba di Indonesia, gua yang berencana kabur tentu saja nggak bakal pulang ke rumah. Sempat berniat untuk menghubungi Suci, namun Jeje juga mengenal Suci. Dan bukan nggak mungkin, ia bakal mencari gua melalui Suci.
Butuh waktu berpikir, gua akhirnya memutuskan untuk tinggal di hotel untuk sementara.
Berbekal uang tabungan yang selama ini Jeje berikan dan hasil dividen pabrik guling. Gua mulai mencari tempat untuk tinggal di Jakarta. Akhirnya, gua menyewa sebuah apartemen kecil di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Ternyata, kabur dan pergi dari Jeje nggak berhasil menenangkan batin dan pikiran, gua malah tambah stress dan hampir gila karena setiap hari kepikiran dirinya. Ingin rasanya kembali, tapi ada rasa takut dan malu yang berkecamuk, yang akhirnya malah membuat gua terus bertahan.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.
Sendirian.
Sepi.
Adakalanya gua hanya berbaring sambil menangis seharian seraya memandangi foto-foto kami berdua dulu.
Akhirnya gua memutuskan untuk mencoba menghubungi Suci, agar ada teman untuk ngobrol dan berbagi cerita. Tentu saja ia cukup kaget begitu mendengar kabar dari gua.
“Ah gila lo.. Lo dimana. gue kesana sekarang..” Serunya.
Nyatanya Suci datang dengan membawa kabar yang membuat hidup gua semakin terguncang.
Sambil menangis, ia langsung memeluk gua dan memaki penuh amarah.
“Bego lo…”
“Kenapa sih Ci, emang lo nggak kangen sama gue?” Tanya gua.
“Nyokap lo Din..”
“Hah, kenapa?”
“Nyokap lo meninggal…”
Deg!. Dunia seakan runtuh. Tubuh langsung terasa lemas dan tak bertulang.
Betapa durhakanya gua.
Suci lalu bercerita kalau beberapa minggu yang lalu, nyokap gua meninggal karena serangan jantung. Sementara, Bokap mencoba menghubungi gua di Kanada dan nggak berhasil.
“Terus…?”
“Gue ketemu Jeje pas pemakaman… dan pas gue tanya ke Jeje, dia cuma diem, nggak jawab…”
“Terus…?”
“Yaudah…”
Suci melanjutkan ceritanya; Bokap sangat marah dengan kelakuan gua. Nggak lama setelah nyokap meninggal, Rumah yang dulu kami tempati dijual, sementara Bapak kembali ke kampung halamannya di Medan.
Lalu, gua semakin tenggelam dalam elegi. Bagaimana mungkin hidup gua yang sebelumnya sempurna menjadi hancur berantakan. Dan saat gua mulai merasa menyesal, semuanya sudah terlambat.
—
Ponsel gua berdering, menampilkan notifikasi pesan; dari Suci. Ia menanyakan kondisi gua dan ingin datang berkunjung.
Nggak seberapa lama, Suci datang ke apartemen, kali ini ia bersama dengan seseorang; Izar. Kami bermain video game, karaoke dan hal menyenangkan lainnya untuk menghibur gua.
Sebulan berselang, Izar kerap kali datang mengunjungi gua tanpa Suci. Ia mengajak gua ngobrol, bercerita tentang masa lalu dan sama sekali nggak meminta untuk mengungkap alasan kesedihan gua. Kadang, ia juga mengajak gua keluar untuk sekedar berbelanja dan makan di luar. Perlahan, gua mulai kembali membuka hati untuk dunia.
Suatu malam, Izar baru saja mengantarkan gua pergi berbelanja.
“Mau ngopi nggak zar?” tanya gua.
“Boleh”
“Tapi kopi instan, gapapa?”
“Iya Gapapa kok” Jawabnya, lalu duduk di kursi kayu yang menghadap ke balkon.
Sambil minum kopi kami berdua lalu ngobrol. Gua lalu mulai bercerita tentang masa lalu, tentang hubungan gua dengan Jeje. Walaupun nggak secara detail, namun menceritakan hal tersebut kembali memunculkan rasa penyesalan dan rindu yang luar biasa. Sesekali, gua menyeka air mata di kedua pipi sambil bicara.
Izar meletakkan gelas kopi di atas meja dan mulai memeluk gua.
Karena merasa sikapnya berlebihan, gua berusaha melepas pelukannya.
Tiba-tiba pintu apartemen terbuka, gua dan Izar langsung menoleh ke arah pintu masuk. Terlihat Suci berdiri sambil menatap kami berdua, matanya melotot, dengan kedua telapak tangan ia berusaha menutup mulutnya agar nggak mengeluarkan suara karena kaget dengan apa yang dilihatnya.
Nggak hanya Suci yang terkejut. Gua juga begitu shock yang mendapati sosok pria yang berdiri dibelakang Suci; Jeje. Dengan matanya yang sendu, ia menatap ke arah gua dan Izar yang mungkin terlihat tengah berpelukan. Berbeda dari Suci, Jeje sama sekali nggak menunjukkan ekspresi apapun. Seperti biasa, wajahnya terlihat datar. Namun, kali ini matanya terlihat berlinang.
Sesaat ia menyeringai, lalu melemparkan sesuatu, seperti lembaran kertas ke dalam ruangan apartemen dan pergi.
Gua melepas pelukan Izar dan berlari, bergegas menyusulnya. Tak ada siapapun di koridor apartemen, gua terus berlari menyusuri lorong dan berhenti tepat di depan pintu lift. Buru-buru, gua menekan tombol lift menuju ke bawah.
Di lobby, gua celingukan, mencoba mencari sosok Jeje, yang lalu terlihat berjalan menjauh keluar dari pintu kaca lobby apartemen. Gua kembali berlari, dan berteriak memanggil namanya; “Je…”
Ia nggak merespon, hanya terus berjalan menjauh, menuju ke halaman apartemen. Gua langsung meraih tangan saat berhasil menyusulnya. Sambil mencoba mengatur nafas, gua bicara; “Tunggu Je, gue bisa jelasin..”
Jeje hanya terdiam, sementara matanya mulai berlinang. Untuk pertama kalinya, gua melihat kedua matanya yang basah. Bahkan kerasnya hidup nggak pernah membuatnya menangis, kini ia menangis gara-gara gua.
Ia melepas genggaman tangan gua, lalu duduk di emperan area parkir apartemen. Gua mendekat dan duduk disebelahnya.
“Dengerin gue Je. Lo pasti salah paham, biar gue jelasin ke elo…” Ucap gua.
“Gua? salah paham?”
“Iya…”
“Berarti gua yang salah memahami elo, atau gua yang salah memahami waktu? Gua datang diwaktu yang nggak tepat? atau gimana?” Tanyanya tanpa sedikitpun menatap ke arah gua.
“Bukan gitu Je, gue nggak ada apa-apa kok sama Izar, sumpah Je…” Gua mencoba menjelaskan kepadanya seraya mengangkat kedua jari ke atas.
“Coba tanya Suci deh, apa yang ada dipikirannya pas ngeliat kalian berdua? kalo pendapat gua sama Suci beda, berarti emang gua yang salah paham…” Ucapnya.
“Nggak Je, ini nggak kayak yang ada dipikiran kalian berdua. Izar cuma mau menghibur gue…” Gua mengajukan pembelaan, mengatakan yang sejujurnya.
Jeje terdiam sebentar, ia lalu berdiri dan melangkah pergi.
“... Maaf Je, Maafin gue…” Ucap gua dengan suara sedikit lantang agar terdengar olehnya.
Jeje menghentikan langkahnya, ia lalu berbalik dan kembali mendekat. Kini gua bisa dengan jelas melihat wajahnya yang gua rindukan, walaupun bukan di momen yang gua inginkan.
“Kasih alasan kenapa gua harus maafin orang yang membenci gua?” tanyanya pelan.
“Gue nggak benci elo je..”
“Bullshit! gua rasa tingkat kebencian lo ke gua udah maksimal sampe lo rela pergi ninggalin Anggi yang baru tiga bulan. Dan kalaupun gua harus ngasih maaf, Gua cuma mau ngasih maaf buat Aldina. Aldina yang gua kenal nggak mungkin tega ninggalin anaknya pergi sendiri…”
“...”
“... dan lo bukan Aldina yang gua kenal” Tambahnya lalu pergi.
The Ataris - So Long, Astoria
It was the first snow of the season
i can almost see you breathin
in the middle of that empty street
Sometimes i still see myself
in that lonesome bedroom
playin my guitar
and singing songs of hope
for a better future
life is
only
as good as the memories we make
and i'm taking back what belongs to me
polaroids of classrooms unattended
these relics of remembrance
are just like shipwrecks
only theyre gone faster
than the smell after it rains
last night while everyone was sleepin
i drove through my old neighborhood
and resurrected memories from ashes
we said that we would never fit in
we were really just like them
does rebellion ever make a difference
life is
only
as good as the memories we make
and im taking back what belongs to me
polaroids of classrooms unattended
these relics of remembrance
are just like shipwrecks
only theyre gone faster
than the smell after it rains
So long astoria
i found a map to buried treasure
and even if we come home empty handed
well still have our stories
of battle scars, pirate ships and wounded hearts,
broken bones, and all the best of friendships
and when this hourglass
has filtered out
its final grain of sand
i raise my glass to the memories we had
this is my wish
this is my wish
im takin back
im takin them all back
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup