Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Belajar dari Lapindo, Century, Jiwasraya, Indosurya, Djoko Tjandra
Spoiler for Hukum:


Spoiler for Video:


Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan sistem boarding school dan jauh dari keluarga, saya berusaha dekat dengan siapa saja. Termasuk penjaga keamanan di lingkungan asrama. Saya dan teman-teman pun acap kali ‘nongkrong’ di pos penjagaan sambil bertukar cerita, menyeruput kopi dan berbagi sebatang dua batang rokok dengan para satpam.

Asrama itu memiliki peraturan yang ketat serta jam malam. Apalagi di asrama ada pengurus yang memastikan aturan berjalan dengan semestinya. Pernah suatu ketika kami tertangkap basah pulang ke asrama melewati batas waktu yang ditetapkan. Ibarat kata mana ada maling yang mau mengaku, kami pun membuat alibi dengan mengatakan sudah berada di asrama sebelum jam malam. Namun pengurus tidak percaya. Akhirnya kami memintanya menanyakan langsung ke penjaga keamanan asrama. Dengan sedikit kode, penjaga keamanan mendukung alibi kami.

Kenakalan remaja seperti itu memang tak pantas ditiru. Tapi uniknya, ternyata kejadian serupa terjadi pula dalam skala yang jauh lebih besar dan menyangkut proses pidana seperti dalam kasus pelarian Djoko Tjandra.

Seorang Djoko Tjandra pada mulanya mendapatkan vonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Jaksel. Namun Kejaksaan Agung (Kejagung) saat itu melakukan upaya peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). PK itu pun disetujui pada 2009. Dengan kata lain, kasusnya sudah memasuki proses pidana. Namun, sebelum ketok palu dilakukan, Djoko Tjandra melarikan diri ke Papua Nugini dan menjadi warga negara di sana. Di tahun yang sama, Kejagung mengajukan permintaan red notice NCB ke Interpol Indonesia. Maka terbitlah red notice Djoko Tjandra bernomor A1697/7-2009 yang memiliki masa aktif 5 tahun.

Tapi jajaran Kejaksaan Agung periode 2014-2019
dibawah Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, yang juga politisi NasDem tidak memperpanjang Red Notice tersebut. Mereka bahkan seolah tak mengetahui kadaluarsanya Red Notice Djoko Tjandra.

Kini, nama Djoko Tjandra kembali mengguncang tanah air. Sebab pada 8 Juni 2020 lalu nama Djoko Tjandra terdaftar di PN Jaksel dalam rangka PK yang seharusnya hanya bisa dilakukan apabila seseorang memiliki KTP Indonesia.

Ketika tiba di Indonesia, Djoko Tjandra membuat e-KTP sebagai syarat mengajukan PK di PN Jaksel. Lewat KTP ini pula ia dapat terbang ke Kalimantan hingga ‘berobat’ ke Malaysia berkat surat jalan yang diterbitkan oknum jenderal polisi Brigjen Prasetijo Utomo tertanggal 18 Juni 2020. Menurut pihak Kepolisian, Brigjen Prasetijo telah menyuruh membuat surat jalan palsu dan digunakan oleh JST (Joko Sugiarto Tjandra) dan AK (Anita Kolopaking).

Sumber : Kompas[Bareskrim Tetapkan Brigjen Prasetijo sebagai Tersangka Kasus Pelarian Djoko Tjandra]

Anita Kolopaking juga memiliki peran dalam terdaftarnya PK kasus Djoko Tjandra di PN Jaksel. Anita pun disebut-sebut telah melobi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Anang Supriatna. Dengan lobi yang melibatkan pihak Kejaksaan tersebut, Anita diduga tengah membicarakan masalah pemulihan nama Djoko Tjandra dari daftar hitam imigrasi.

Menarik, sengkarut kasus buron Djoko Tjandra dimulai dari diajukannya PK oleh Kejagung atau saat dimulainya proses pidana. Serupa dengan yang saya lakukan dengan memanfaatkan kedekatan dengan pihak keamanan boarding school untuk mengelebaui pihak asrama, begitu pula dengan Djoko Tjandra. Ia memanfaatkan koneksi dan uangnya agar oknum Polri mau menerbitkan surat jalan. Ia juga diduga memanfaatkan kedekatan dengan sejumlah oknum Kejaksaan untuk melobi PK kasusnya.

Kita pun dapat ambil kesimpulan, Djoko Tjandra dengan mudah mencari celah dalam petualangannya ketika telah ada penetapan pidana. Dengan penetapan pidana itu, ia dapat menyaring oknum mana saja yang dapat bekerjasama dengannya. Ternyata pemidanaan di sini ternyata justru merugikan negara.

Kita ambil lah contoh lain kelemahan di ranah pidana dalam kasus lumpur Lapindo yang mendera Sidorajo pada 2006 silam dan menyeret nama Aburizal Bakrie. Saat peristiwa itu terjadi, Aburizal Bakrie bisa punya jalan keluar dengan mengajukan kepailitan ke pengadilan. Jika sudah pailit, maka urusan selesai karena PT Lapindo Brantas dianggap sudah tidak mampu. Nantinya urusannya akan diambil alih oleh kurator. Soal pengembalian kerugian warga, ya mau tak mau harus rela dibayar dengan aset 'seadanya' dari Lapindo Brantas.

Namun langkah hukum itu tak dilakukan Aburizal Bakrie. Ia memilih untuk mengurangi kerugian warga terdampak dengan alasan titah ibunya yang menginginkan Aburizal membeli tanah warga terdampak lumpur. Di sisi lain, pemidanaan yang dilakukan kepada pengusaha yang juga pucuk pimpinan Partai Golkar itu, malah berujung dengan kandas pula. Persoalan lumpur dinilai sebagai bencana oleh aparat hukum.

Di sini terlihat jelas, bahwa langkah pidana tak selamanya menguntungkan negara dan rakyat yang mencari keadilan. Bisa saja Grup Bakrie lari dari masalah dengan dalih sesuai ketentuan hukum bukan?

Sumber : Tempo [Ical Bayar Tanah Warga Lapindo Demi Titah Ibu]

Contoh lain dari hukum pidana tak menjawab keadilan dapat terlihat dari kasus Robert Tantular terkait Bank Century. Bank ini mengalami masalah likuiditas luar biasa sehingga tak mampu mengembalikan dana nasabah alias gagal bayar. Akibatnya pemerintah pun turun tangan dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih kepemilikan bank dan mengganti namanya menjadi Bank Mutiara Tbk.

Lantas bagaimana dengan dana nasabah yang belum kembali? Ternyata LPS bersikukuh tidak akan membayar uang nasabah Bank Century dengan alasan bank telah berganti nama sehingga sistem perbankan masih berjalan.

Sumber : Liputan 6 [LPS Tolak Bayar Uang Nasabah Bank Century]

Kasus Bank Century ini pun mengingatkan kita lagi pada kasus gagal bayar lainnya, yakni Jiwasraya. Belajar dari kasus Bank Century, ada baiknya dana kreditur dikembalikan terlebih dahulu sebelum kasus Jiwasraya memasuki persidangan dan ketok palu. Karena apabila terlebih dahulu diselesaikan lewat unsur pidana, siapa yang bisa menjamin pengembalian dana stakeholder? Sedangkan pengembalian dana nasabah Bank Century saja hingga kini menggantung karena perubahan sistem yang legal secara hukum.

Begitu pun dengan kasus gagal bayar koperasi Indosurya yang seharusnya telah memasuki babak akhir. Pada Kamis 9 Juli 2020, mayoritas kreditur telah menyetujui perdamaian yang diajukan KSP Indosurya. Persetujuan perdamaian itu berdasarkan hasil voting dari 4.724 suara yang mengikutinya. Sebanyak 73,41 persen menyatakan sepakat dengan rencana perdamaian Indosurya. Semua itu hanya bisa tercapai berkat upaya dari para Pengurus Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Akan tetapi, pihak Pengurus PKPU menambah persoalan dengan berharap imbal jasa atau fee segera KSP Indosurya bayarkan. Padahal hakim pemutus telah menyatakan bahwa persoalan fee dan biaya pengurus ditetapkan terpisah dari perdamaian PKPU. Di saat sama, pihak-pihak tak puas juga membawa persoalan ini ke pidana, dengan melaporkan pendiri KSP Indosurya dan pengurusnya ke Polri.

Pihak KSP Indosurya sebaliknya telah memastikan akan membayar fee Tim Pengurus PKPU. Melaui ketua Pengurus Koperasi Indosurya Cipta, Sonia, pihak koperasi menyatakan pasti akan membayar fee ke tim PKPU setelah pengesahan perdamaian. Pembayaran akan dilakukan setelah KSP mengetahui isi Pentepan Majelis Hakim. Pembayaran fee akan diputuskan dalam forum yang berbeda di luar pengesahan perdamaian.

Sumber : Jawa Pos [KSP Indosurya Akan Bayar Fee Pengurus PKPU]

Langkah dari pengurus nasabah di perkara PKPU, dan pihak tak puas lainnya dengan melaporkan persoalan ini ke pidana, memperkuat bukti bahwa ranah pidana ternyata dapat menjadi celah bagi pihak tertentu memanfaatkan situasi dengan cara yang legal secara hukum.

Muncul pertanyaan, apakah sebenarnya yang pihak pengurus PKPU cari dari ancaman pembatalan perjanjian perdamaian ini? Apa pula yang disasar dari pemidanaan pendiri KSP Indosurya dan pengurus koperasi itu?

Jika mereka bekerja untuk para kreditur tentu mereka akan segera menyetujui perjanjian perdamaian yang disetujui mayoritas kreditur. Jika mereka bekerja untuk pihak KSP Indosurya itu hal yang tak mungkin. Sebab KSP Indosurya pun telah menyetujui keputusan perdamaian antara debitur dan kreditur.

Maka untuk siapakah PKPU bekerja? Jangan-jangan ada investor ‘vulture’ yang ingin menggulingkan kepemilikan KSP Indosurya saat ini. Lantas, dapat apa anggota koperasi itu jika ternyata ada niatan demikian? Boncos, bukan?
Diubah oleh NegaraTerbaru 30-07-2020 01:37
denisaoktaviani
ojon2
rujit
rujit dan 2 lainnya memberi reputasi
1
771
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan