Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Main paksa menuju masyarakat tanpa uang tunai

Ilustrasi: tak ada insintif untuk penggunaan uang elektronik
Sistem pembayaran menggunakan uang elektronik mendapat respon yang baik di masyarakat. Hal itu terlihat dari naiknya jumlah transaksi maupun besar nominal yang ditransaksikan lewat sistem pembayaran uang elektronik tersebut.

Naiknya jumlah maupun nominal transaksi itu tentu tidak terlepas dari peningkatan penyediaan infrastrukturnya. Itu bisa dilihat dari data dalam rentang waktu 2013 sampai 2016.

Dalam kurun waktu itu, dari sisi infrastruktur, jumlah reader naik 169 persen. Kenaikan itu dibarengi dengan kenaikan instrumen uang elektronik (41%), volume transaksi (395%), dan nominal transaksi (143%).

Sampai Juli tahun 2017, reader yang tersedia mencapai 455.227 buah. Itu berarti naik 80.366 buah dibandingkan dengan akhir tahun lalu.

Jumlah instrumen uang elektronik sampai Juli 2017 hampir mencapai 70 juta buah. Itu berarti naik 18 juta buah dibandingkan akhir tahun lalu.

Sementara volume transaksi, sejak Januari sampai Juli 2017, sudah mencapai hampir 417 juta. Dan nominal transaksi mencapai Rp5.9 triliun. Di akhir tahun nanti, hampir pasti jumlah total volume maupun nominal transaksi akan melebihi capaian akhir tahun lalu.

Ini gelagat bagus bagi negara kita, lewat Bank Indonesia (BI), yang memang mencanangkan program transaksi tanpa uang tunai sejak 2010. Program itu mengarah kepada terbentuknya masyarakat yang nyaris tanpa uang tunai (less cash society, LCS).

Tentu bukan tanpa alasan jika pemerintah memandang perlu mentransformasikan masyarakat kita menuju ke sana. Transaksi elektronik, menurut Gubernur BI Agus Martowardojo dua tahun lalu, mengurangi beban bank sentral dalam mencetak uang dan mengendalikan peredaran uang tunai di masyarakat.

Untuk pengadaan uang, fisik uang yang dibutuhkan akan mencapai Rp3 triliun per tahun. Dana itu, seperti disampaikan Deputi Direktur Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali Azka Subhan yang dikutip Liputan6.com, dipergunakan untuk perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang.

Selain terkait dengan efisiensi dalam hal pengadaan uang tersebut di atas, transaksi non tunai juga bisa menekan kejahatan yang berlangsung dalam kegiatan bisnis yang lebih sering menggunakan uang tunai. Itu terjadi berkat rekaman yang jauh lebih baik dalam transaksi elektronik ketimbang transaksi tunai.

Rekaman transaksi yang baik itu memudahkan pengintegrasiannya dengan sistem keuangan. Dengan begitu aktivitas ekonomi lebih mudah untuk dihitung. Dalam keperluan statistik, hal tersebut juga menghindarkan potensi kehilangan angka yang seharusnya terekam.

Bagi konsumen, uang elektronik bisa dianggap relatif lebih praktis. Setidaknya, kita tak perlu direpotkan dengan membawa uang yang jauh lebih tebal ketimbang -misal- selembar kartu uang elektronik; atau tidak perlu repot dengan uang pas dan uang kembalian. Soal keamanan, orang masih bisa memperdebatkannya.

Data-data penggunaan sistem pembayaran elektronik yang disampaikan di awal tadi memang memperlihatkan peningkatan. Namun di sisi lain, harus diakui, angka tersebut masih tergolong kecil. Itu sebabnya kita bisa memahami mengapa negara mencoba terus mendorong transaksi elektronik.

Program yang paling dekat adalah mewajibkan penggunaan uang elektronik untuk membayar jalan tol di sejumlah gerbang tol. Kewajiban itu harus dilihat sebagai upaya paksa kepada konsumen untuk lebih sering menggunakan transaksi non tunai itu.

Pemaksaan itu disertai dengan upaya paksa yang lain. Di pengujung Mei lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo menyampaikan bahwa BI akan mengeluarkan aturan tentang biaya yang dikenakan kepada konsumen saat bertransaksi uang elektronik.

Alasannya antara lain, perbankan masih rugi dalam menyiapkan infrastruktur transaksi uang elektronik. Infrastruktur itu dari pembuatan kartu (starter kit) yang harus diimpor dengan harga sekitar 2 dolar AS , sampai kanal pemindahan uang ke kartu, baik melalui ATM, EDC maupun pihak ketiga, seperti mini market. Juga alat untuk transaksi uang elektronik yang didistribusikan ke merchant.

Itulah sebabnya, BI memperbolehkan dua jenis biaya dikutip oleh bank. Pertama, merchant discount rate (MDR). MDR adalah konsep berbagi biaya antara bank penerbit, acquirer, pengelola jalan tol, lembaga standar dan lembaga jasa. Kedua, biaya pengisian uang (top up).

Sebagai suatu praktik bisnis yang lumrah, MDR tidaklah terlalu menarik perhatian konsumen. Namun pengenaan biaya pada saat melakukan pengisian uang (top up), jelas, menjadi masalah bagi konsumen.

Sampai sekarang BI memang belum memastikan berapa besar biaya yang boleh dikutip oleh bank ketika konsumen melakukan top up. Namun BI tetap bersikukuh untuk memperbolehkan bank mengutip biaya top up itu, sebagai bentuk insentif agar bank menyediakan infrastruktur yang lebih baik.

Seberapa pun besarnya kelak jumlah biaya top-up, sungguh mengherankan bahwa BI mengabaikan konsumen. Memaksa konsumen untuk menggunakan uang elektronik bersamaan dengan memaksa mereka untuk membayar biaya top up-nya adalah aturan yang sangat tidak adil bagi konsumen.

Yang pertama-tama diuntungkan oleh suatu masyarakat tanpa uang tunai adalah negara dan dunia usaha. Sungguh tidak adil jika beban infrastruktur justru di taruh di pundak konsumen semata.

Kerugian bank dalam investasi infrastruktur uang elektronik, tidak seharusnya dibebankan pada konsumen. Bank pasti punya perhitungan kapan investasi di unit uang elektronik akan mulai menguntungkan. Jika tidak menguntungkan mengapa bank berlomba membuat produk uang elektronik?

Hal yang juga penting, adalah tidak fair memaksa konsumen beralih ke transaksi non tunai tanpa insentif apapun. Malah insentif itu diberikan kepada perbankan.

Kita mengerti sejumlah manfaat dari terbentuknya masyarakat tanpa uang tunai. Namun jika negara dan perbankan belum sanggup menanggung sendiri infrastrukturnya dan tidak bersedia memberikan insentif agar masyarakat beralih ke uang elektronik, mengapa harus main paksa?



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...npa-uang-tunai

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Kesetaraan dan prioritas putra daerah

- Mengapa diskusi harus dicegah?

- Indeks Persepsi Korupsi bukan cuma urusan KPK

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.1K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan